Pages

Monday, December 23, 2013

Bahaya Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme


Bahaya Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme

Wacana Pluralisme dan temen-temennya ini tak pernah habis menghantui dan merusak kaum Muslim. Walaupun MUI telah mengeluarkan fatwa haramnya paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun 2005,  tetap saja pluralisme melenggang kangkung diusung media.
Walhasil, umat Islam pun menjadi bingung, semua yang pro dan kontra dengan sepilis (sekulerisme-pluralisme-liberalisme) ini semua mengatasnamakan Islam, mana yang harus dipercaya, yang mana yang harus diikuti menjadi samar. Banyak diantara kaum muslim akhirnya yang memilih untuk tidak perduli. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk meletakkan sebuah pemahaman yang benar tentang faham Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme.
 
Secularism means:
• in philosophy, the belief that life can be best lived by applying ethics, and the universe best understood, by processes of reasoning, without reference to a god or gods or other supernatural concepts.
• in society, any of a range of situations where a society less automatically assumes religious beliefs to be either widely shared or a basis for conflict in various forms, than in recent generations of the same society.
• in government, a policy of avoiding entanglement between government and religion (ranging from reducing ties to a state church to promoting secularism in society), of non-discrimination among religions (providing they don’t deny primacy of civil laws), and of guaranteeing human rights of all citizens, regardless of the creed (and, if conflicting with certain religious rules, by imposing priority of the universal human rights).
Secularism can also mean the practice of working to promote any of those three forms of secularism.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Secularism
 
• Secara filosofi, pandangan yang menganggap bahwa kehidupan dapat dijalani paling baik dengan menggunakan etika, dan pengertian paling baik dari alam semesta, melalui proses argumentatif, tanpa merujuk kepada tuhan atau (banyak) tuhan atau konsep supernatural.
• Pada masyarakat, semua dari kisaran situasi dimana suatu masyarakat lebih sedikit yang secara otomatis mengasumsikan kepercayaan agama sebagai andil besar atau dasar daripada masalah dalam berbagai bentuk daripada generasi belakangan di masyarakat yang sama.
• Pada pemerintahan, kebijaksanaan yang menghindari keterkaitan antara pemerintahan dan agama (berkisar dari mengurangi keterikatan pada negara-gereja sampai mempromosikan sekularisme pada masyarakat), non-diskriminasi pada agama (memaksa mereka untuk tidak mengingkari keutamaan dari hukum sipil), dan menjamin HAM semua warganegara (dan, bila bermasalah dengan aturan agama tertentu, dengan memprioritaskan hukum hak asasi universal).

Sekularisme juga bisa berarti mempraktekan atau berusaha untuk mempromosikan/menyebarkan salah satu dari tiga bentuk sekularisme di atas. 
 Liberalism is a political current embracing several historical and present-day ideologies that claim defense of individual liberty and private property as the purpose of government. It typically favors the right to dissent from orthodox tenets or established authorities in political or religious matters. In this respect, it is sometimes held in contrast to conservatism. Since liberalism also focuses on the ability of individuals to structure their own society, it is almost always opposed to totalitarianism and collectivist ideologies, particularly communism.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Liberalism

Liberalisme adalah gerakan politik mencakup pandangan kuno dan modern yang menjamin kebebasan individual dan kepemilikan privat sebagai tujuan dari pemerintahan. Cirinya melindungi hak untuk bertentangan dari dalil/pengajaran agama atau menetapkan kewenangan dalam masalah politik atau agama. Dalam pembahasan ini, liberalisme terkadang kontras dengan konservatisme. Karena liberalisme memfokuskan kepada kemampuan individual dalam membentuk struktur masyarakat, maka hampir selalu bertentangan dengan totaliterisme dan ideologi kolektif (sosialis), khususnya komunisme

In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation
Pluralism also implies the right of individuals to determine universal truths for themselves.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Pluralism
Pada ilmu sosial, pluralisme adalah kerangka aktivitas interaksi dimana suatu kelompok menunjukkan rasa hormat yang baik dan toleransi satu samalain, mereka saling mengakui dan berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi.

Pluralisme juga bahwa individu-individu mempunyai hak untuk memutuskan “kebenaran universal” untuk mereka.

Pluralisme Agama

Dari pemaparan di atas telah sangat jelas sekali bahwa sesungguhnya sekularisme adalah cara memandang kehidupan tanpa agama (outside the religion), dalam definisi modern juga bisa dikatakan memisahkan agama dari kehidupan publik (negara). Awal munculnya pandangan ini adalah ketika terjadi konflik antara agama katolik dan para cendekiawan di eropa yang berlangsung pada abad pencerahan (enlightment ages) sekitar abad 16 sampai abad 17, yang sebelumnya dilalui oleh abad gelap (dark ages) yaitu sekitar abad ke 5 sampai dengan abad ke 15. Penyebutan abad gelap ini adalah karena begitu tak teraturnya masyarakat eropa pasca runtuhnya kekaisaran romawi (roman empire) pada tahun 410.

Keruntuhan romawi ini mengakibatkan banyak sekali tuan-tuan tanah (landlords) yang mempunyai wilayah memisahkan diri menjadi suatu masyarakat tertentu, yaitu masyarakat feodal dengan feodalisme sebagai pandangan hidupnya. Disini strata masyarakat biasanya terbagi 6 yaitu bangsawan (landlords), ksatria (knights), rahib (clerics), prajurit (troops) cendekiawan (scholars) dan rakyat (people). Abad gelap ini juga sering disebut abad agama (age of faith) dikarenakan katolik yang dilegalkan menjadi agama negara pada tahun 391 sebelum romawi runtuh.Dikatakan abad agama juga karena besarnya peranan rohaniwan dalam negara, termasuk melegalisir para tuan tanah untuk mengeksploitasi rakyatnya, dan anggapan tuan tanah adalah wakil dari tuhan adalah umum dalam masa ini.

Gereja membentuk doktrin untuk terus melanggengkan hubungan antara penguasa-rohaniwan ini, misalnya St. Augustine seorang uskup di kota Hippo (sekarang Annaba, Algeria) dalam bukunya City of God (413-426) menyatakan bahwa “seharusnya umat kristiani tidak perlu peduli dengan kejadian di duia tetapi fokus kepada penyelamatan (salvation) dan hidup setelah mati di dalam kota surgawi” (Rosenwain, 2005). Doktrin-doktrin semacamnya juga diberlakukan pada sains, misalnya teori geosentris yang dikemukakan oleh gereja yang ditentang oleh Nicolaus Copernicus dengan teori heliosentrisnya akhirnya berujung pada dianiayanya cendekiawan ini, begitu pula yang terjadi pada Galileo Galilei dengan teori bumi bulatnya. Dalam kemasyarakatan doktrin gereja berhak menentukan ajaran mana yang sesat (heretics) dan ajaran mana yang baik menurut mereka sendiri sehingga kejadian ini menimbulkan banyak sekali protes bagi rakyat sipil dan para cendekiawan. Keadaan ini terus berlanjut hingga abad ke 16.

Pada abad ke 17 dan 18 terjadi abad pencerahan (enlightment age) yang diawali oleh banyaknya pemikir dan cendekiawan yang melihat bahwa alasan terjadinya abad gelap adalah karena campur tangannya agama (katolik) dalam urusan negara, karena mereka memandang justru kemunduran yang sangat besar terjadi pada masa pemerintahan agama ini. Para kaum protestan pun menulis bahwa periode abad gelap adalah periode katolik yang terkorupsi sehingga tidaklah murni lagi. Puncaknya terjadi pada masa renaissance (kelahiran kembali) dimana para pemikiran para cendekiawan dan rakyat biasa melawan kepada tuan tanah dan rahib, karena dinilai selama abad gelap agama dengan hak suci mereka (divine rights) telah menjadi sesuatu yang melegitimasi eksploitasi terhadap mereka oleh tuan tanah, dan menuntut agar agama tidak lagi dihubungkan dengan negara (sekular). Disinilah sekularisme lahir.

Setelah itu, para pemikir kemudian mengganti nilai-nilai serta standar-standar yang ada pada masyarakat agar jangan sampai mengambil kembali agama untuk diterapkan dalam masyarakat. Ide-ide derivat sekularisme inilah yang akhirnya mengejewantah dalam pemikiran yang lain yaitu liberalisme, pluralisme, kapitalisme dan akhirnya demokrasi.

Sama seperti Liberalisme, pemikiran ini pun dibangun atas dasar pemisahan agama dari negara. Para pemikir seperti John Locke (1632-1704)dan Baron de Montesquieu menyerukan hak dasar manusia yaitu “life, liberty and property” sebagai suatu yang sangat diperlukan dalam menciptakan suatu pemerintahan dan hidup yang stabil, sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, raja bukanlah figur suci yang mempunyai hak yang lebih di mata hukum dan lain-lain, serta dan pemikir seperti Voltaire dan Immanuel Kant yang sangat vokal terhadap pengekangan kebebasan atas nama tuhan oleh agama.

Inilah yang akhirnya mendasari demokrasi, yaitu sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mereka memilih sendiri pemerintahan mereka, membuat sendiri hukum untuk mereka taati sendiri. Kedua pandangan ini (liberalisme dan demokrasi) oleh Adam Smith dan David Ricardo dituangkan dalam bentuk kebebasan ekonomi dimana keuntungan terbesar akan diperoleh apabila setiap individu dijamin haknya secara penuh oleh pemerintah untuk memiliki sesuatu, tanpa atau dengan campur tangan yang seminimal mungkin dari pemerintah yang saat ini kita kenal dengan sistem ekonomi kapitalisme. Di dalam sistem pergaulan nilai-nilai ini akhirnya menyamar menjadi budaya individualisme serta hedonisme. Di dalam sistem politik berubah menjadi opportunisme dan didalam pendidikan menjadi materialisme. Intinya adalah bahwa setiap orang dilahirkan bebas (liberty) dan hanya ia yang berhak menentukan jalan hidupnya tanpa campur tangan atau dipengaruhi orang lain.

Dalam hal kehidupan beragama, pluralisme atau sinkretisme adalah turunan dari sekularisme, dimana pandangan ini menyatakan pluralitas (beragamnya) manusia, pendapat atau agama adalah suatu fakta yang tidak dapat ditawar-tawar lagi sehingga agar tidak menimbulkan konflik dan masalah di dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak boleh ada manipulasi nilai-nilai kebenaran oleh suatu kelompok, agama atau individu manapun. Kebenaran itu relatif dari mana kita memandang. Dengan kata lain semua agama adalah sama.

Walhasil, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya kemunculan sekularisme ini sendiri adalah dikarenakan oleh pemikir dan cendekiawan serta rakyat jelata yang dikecewakan oleh sistem pemerintahan agama (katolik), dan pemikiran derivatnya yaitu liberalisme dan pluralisme, termasuk kapitalisme dan demokrasi adalah produk yang sengaja disiapkan untuk menjadi tameng agar masyarakat eropa tidak lagi terjerumus pada trauma masa lalu, bersatunya negara dan agama.

Berbeda dengan Islam, sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan islam justru tercapai ketika Islam tidak hanya diposisikan sebagai agama ritual tetapi juga sebagai aturan hidup yang mengatur seluruh aspek dalam kehidupan. Menarik bila mengutip pernyataan Michael H. Hart, dalam kata pengantar bukunya yang berjudul 100 Tokoh paling Berpengaruh di Dunia, bahwa dia menempatkan Muhammad Rasulullah saw. menjadi tokoh nomor satu adalah karena Muhammad mempunyai kekuasaan spritual dan politis yang tidak dipisahkan satu sama lain. Sejarah tidak bisa berbohong bahwa abad keemasan umat muslim (Islamic golden age) pada saat kekhilafahan abbasiyyah dan awal kekhilafahan utsmaniyyah (750 M – 1500 M) telah menyatukan lebih dari 1/3 dunia, kekuasaan membentang dari sebagian eropa (andalusia/spanyol) hingga dataran balkan yang kekuatan laut maupun daratnya ditakuti di dunia.

 Juga tertulis dengan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia karya besar pemikir dan saintis muslim seperti al-Khawarizmi dengan teori matematikanya, al-Kindi dengan pemikirannya, Ibnu Sina dengan ilmu kedokteran dan kesusasteraannya yang telah menulis Asas Pengobatan (Canons of Medicine) serta ilmu optik, Ibnu Khaldun dengan sejarahnya dan Ibnu Rusyd dengan fikihnya. Pada pendidikan pun tak kalah hebatnya Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 5 juta rupiah dengan kurs sekarang). Atau pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dimana tidaka ada warga negara yang miskin sehingga zakat bagi orang miskin tidak dibagikan.

Semua gambaran tersebut adalah fakta yang terjadi ketika Islam dan kehidupan tidak dipisahkan. Ini karena Islam adalah sebuah sistem hidup, sebuah ideologi yang tidak bisa diterapkan secara sebagian. Ia juga tidak bisa dicangkokkan dengan ideologi lain semacam sekularisme dan sosialisme, dikarenakan Islam adalah metode hidup yang khas. Dan untuk menerapkan Islam yang kaaffah maka sesungguhnya diperlukan suatu institusi yang harus ada untuk menjamin terlaksananya semua aturan-aturan Islam, institusi inipun haruslah khas yang terpancar dari Islam, tidak yang lain, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah.

Oleh karena itu, sebagai seorang yang berusaha untuk melaksanakan semua aturan yang telah dibebankan oleh Allah SWT kepada kita, hendaknya kita tidak mengambil pandangan-pandangan yang tidak berasal dari Islam maupun memperjuangkannya, apalagi pandangan itu telah terbukti mudharatnya bagi kehidupan kita, agar kita dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kita di akhirat nanti.

Barangsiapa mencari agama (diin) selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (TQS ali-Imran [3]: 85)
Aturan-aturan Islam dalam masalah publik (negara) sejatinya justru harus dikembalikan lagi kepada umat muslim, semua muslim di dunia ini harus faham bahwa sesunggunya akar permasalahan yang menyebabkan bangkitnya barat dan terpuruknya Islam adalah satu: sekular (memisahkan agama dari negara).
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maaidah [5]: 50)

Akhirul kalam, kita harus benar-benar waspada terhadap pemikiran orang-orang yang bertujuan ingin menjauhkan kita dari Islam, sunnah rasul-Nya dan aturan-aturan (syari’at-Nya), meskipun terkadang penganut sekularisme ini ”kelihatan” berdalil ataupun rasional, namun akhirnya kita diajak untuk mengikuti kepada nilai-nilai kufur. Semoga Allah SWT melindungi kita dari hal-hal yang seperti itu.
wallahua’lam bi ash-shawab

akhukum @felixsiauw

Sumber:  http://felixsiauw.com/home/bahaya-sekulerisme-pluralisme-dan-liberalisme/

No comments:

Post a Comment